DPAD Yogyakarta

WISATA BUDAYA ALUN-ALUN SELATAN KARATON YOGYAKARTA

 Artikel Perpustakaan  23 September 2013  Super Administrator  10517

WISATA BUDAYA ALUN-ALUN SELATAN KARATON YOGYAKARTA
Disarikan dari naskah siaran RRI Yogyakarta 21 Februari 2010

DRA. TITI MUMFANGATI

    Alun-alun Selatan atau yang sekarang lebih dikenal sebagai Alun-alun Kidul (Alkid) yaitu alun-alun yang terletak di sebelah selatan karaton Yogyakarta. Alun-alun ini berbentuk tanah lapang luas berpasir, dengan luas sekitar 160m x 160 m. Alun-alun ini dikelilingi pagar tembok batu bata setinggi 2,20 m, tebal pagar tembok 30 cm, sudah banyak yang runtuh dan rusak. Adapun pagar tembok yang dapat disaksikan sekarang adalah pagar tembok baru, yang dibangun oleh Sri Sultan Hamengkubuwono ke VII pada masa pemerintahannya tahun 1877 -1921 M.
    Alun-alun Kidul atau disebut Alun-alun Pengkeran berseberangan dengan Alon-alun Lor  atau Alun-alun Utara, dibangun oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I pada masa pemerintahannya tahun 1755 -1792 M). Sejak jaman dahulu jalan keluar masuk Alun-alun Selatan yang berjumlah 7 buah, masih tetap letaknya. Di tembok sebelah selatan, di tengah-tengahnya ada jalan masuk ke arah utara selatan, disebut Plengkung Nirbaya atau Plengkung Gadhing. Pagar tembok sebelah timur  ada jalan keluar ke arah timur disebut Jalan Langenarjan di sebelah utara dan Jalan Langenastran di sebelah selatan. Ke arah utara sebelah barat dan timur Siti Hinggil ada Jalan Pamengkang, dua-duanya menuju ke arah Kagungan Dalem Kamandhungan Kidul. Di pagar tembok sebelah barat juga ada dua jalan keluar yaitu Jalan Ngadisuryan di sebelah utara dan Jalan Patehan di sebelah selatan. Di antara kedua jalan tadi ada kandang gajah dengan tiga buah tiang untuk mengikat gajah, sebab pada jaman dahulu gajah milik raja ada tiga ekor. Di dalam kandangnya gajah itu tidak diikat, setiap ada grebeg gajah itu dirias dan dikeluarkan di Alun-alun Utara. 
    Pada jaman dahulu di Alun-alun Selatan ada Palenggahan Dalem Gilang yang terletak di Tratag Rambat. Letaknya di depan Siti Hinggil berupa pasangan batu bata yang sekarang diganti ubin. Tempat ini merupakan tempat duduk raja apabila menyaksikan gladhen (latihan) para prajurit.    
    Sejalan dengan makna filosofi Jawa serta garis sumbu imajiner Karaton Yogyakarta serta ajaran tentang sangkan paran dumadi (asal mula dan tujuan kehidupan), di Alun-alun Selatan ditanam tanaman yang sudah tertentu, yaitu tanaman yang mengandung makna kehidupan yang selalu mengalir terus berganti.  Dimulai dari Gedhong Menjangan Panggung Krapyak, sebagai lambang lahirnya seorang manusia. Ke arah utara masuk ke Alun-alun Selatan kehidupan manusia memasuki alam remaja, akil balik, tahapan gadis dan jejaka. Hal ini dilambangkan dengan dua pohon beringin yang disebut wok, yang ditanam di kanan kiri jalan masuk dari arah selatan. Wok atau bewok melambangkan anak laki-laki menginjak dewasa sudah tumbuh kumis dan jambangnya. Tahapan gadis dan jejaka ini di Alun-alun Selatan dilambangkan dengan pohon kweni diseling pohon pakel yang ditanam berjajar mengelilingi Alun-alun Selatan. Pohon pakel simbol dari akil balik, sedangkan pohon kweni melambangkan wis wani (sudah berani). Hal ini sebagai tanda bahwa manusia yang sudah akil balik atau dewasa sudah berani mengutarakan isi hatinya.
    Selanjutnya Pohon beringin kembar yang ada di tengah Alun-alun Selatan disebut supit urang,  yang diberi pagar berupa jeruji sebagai gambaran busur dan anak panah. Hal ini sebagai lambang bahwa gadis atau jejaka yang sudah dewasa, akil balik, sudah berani melepaskan isi hati kepada lawan jenisnya.
    Selanjutnya ke utara lagi tepatnya di depan regol (gapura) Siti Hinggil, ke arah barat dan timur ditanam pohon gayam berjumlah 8 buah. Pohon gayam  jika sedang berbunga baunya harum melambangkan anak gadis dan jejaka jika sedang bertemu saling melepas rindu merasakan tenang dan damai (ayom ayem). Manusia yang sudah mulai dewasa berani melepaskan isi hatinya dalam suasana yang tenang bahagia dengan kata-kata yang manis, indah, dan menarik hati.
    Secara lahir, pada jaman dahulu Alun-alun Selatan digunakan untuk berbagai keperluan yang menyangkut kepentingan Karaton Yogyakarta. Yang pertama, digunakan untuk berlatih (gladhen) bagi para prajurit karaton menjelang upacara adat tradisi budaya Garebeg, yang setiap tahun diadakan tiga kali, yaitu Garebeg Mulud, Garebeg Sawal, dan Garebeg Besar. Kedua, Alun-alun Selatan digunakan untuk tempat menghadap bagi abdi dalem Wadana Prajurit dalam tradisi di bulan Puasa, yaitu pada malam 23, 25, 27, dan 29 bulan Puasa. Selain itu, pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VII, setiap hari Senin dan Kamis siang, di Alun-alun Selatan diadakan pertandingan panahan, adu harimau melawan kerbau, serta hiburan berupa prajurit rampogan menangkap harimau. Kini Alun-alun Selatan menjadi kawasan wisata tempat yang sangat menarik dengan adanya berbagai kegiatan, seperti masangin, tradisi yang unik di sana. Juga adanya gajah milik raja yang dikandangkan di sebelah barat alun-alun, menjadi tujuan wisata yang tidak kalah menarik. Karaton Yogyakarta dengan segala keunikannya, ketradisionalannya, benda-benda pusakanya, memang sangat menarik untuk dibicarakan.
Ada dua pohon beringin yang tumbuh di sana. Pohon beringin itu berjumlah dua buah, tumbuh berjajar di tengah tengah alun-alun.  Dahulu sampai dengan sekitar tahun 1980 M, alun-alun selatan itu merupakan tempat yang sepi, kecuali hari-hari tertentu ada kegiatan, seperti latihan para prajurit, pisowanan, mubeng beteng, atau latihan panahan. Selain itu, apalagi malam hari tempatnya sepi dan menyeramkan. Tidak ada orang yang berani melewati tempat itu. Hanya pada malam terang bulan banyak anak dan remaja yang bermain di sekitar Alun-alun Selatan, bermain tetabuhan tradisional sambil memanjat pohon beringin kembar.
Memang benar sekarang suasananya berubah. Keramaian ini dimulai ketika bangunan Sasana Hinggil Dwi Aabd yang baru, yang letaknya di sebelah utara Alun-alun Selatan digunakan untuk pagelaran wayang kulit semalam suntuk setiak Sabtu malam kedua setiap bulan. Pagelaran ini diadakan oleh kerjasama antara harian Kedaulatan Rakyat dengan TVRI Yogyakarta sampai saat ini.
Jalan lingkar yang ada di sekitar Alun-alun Kidul dibangun sejak tahun 1980 m. Selain itu juga dipasang lampu mengelilingi tanah lapang sehingga kalau malam suasana tidak gelap gulita. Sejak jam lima pagi suasana sudah ramai oleh orang-orang yang berolah raga, senam, lari atau jalan mengelilingi Alun-alun Selatan. Agak siang digunakan oleh anak-anak sekolah melakukan olah raga, lalu sore hari digunakan untuk sepak bola.
Masangin ini adalah kegiatan yang artinya masuk di antara dua pohon beringin, yaitu pohon beringin kembar yang ada di tengah alun-alun selatan. Di alun-alun selatan ini ada dua pohon beringin  yang lebih dikenal dengan sebutan ringin kurung tumbuh berjajar di tengah areal alun-alun selatan, kedua pohon berjarak sekitar 15 meter, dan merupakan ciri khusus dari kompleks bangunan karaton Yogyakarta. Pohon beringin (ringin kurung) sudah ada sejak jaman dahulu, dan diyakini sebagai pohon keramat di lingkungan kehidupan karaton Yogyakarta.
Masangin dahulu terkait dengan ritual mubeng beteng, yang dilakukan pada malam tanggal 1 Suro untuk menyambut tahun baru dalam kalender Jawa. Bentuk aktivitasnya adalah orang yang akan melakukannya ditutup matanya dengan hitam, lalu berjalan ke arah celah di antara kedua pohon beringin.
Sekarang siapa pun boleh melakukannya, karena sekarang sudah menjadi aktivitas hiburan yang unik. Namun demikian,  masih ada keyakinan bagi sebagian orang bahwa masangin merupakan aktivitas ritual. Terkait dengan kepercayaan masyarakat, siapa yang dapat melakukannya dengan benar akan terkabul keinginannya. Maka ada yang menyebutnya dengan aktivitas ngalap berkah. Bagi orang yang percaya, lingkungan karaton Yogyakarta dilingkupi suasana mistis yang sulit diterima secara logis. Oleh karena itu, pada kenyataannya, banyak orang yang gagal melakukan ritual ini, karena ada keyakinan bahwa orang yang melakukannya harus dengan hati yang bersih, tidak iri dengki, atau pun  jahat.
Bisa dikatakan dapat untuk mengetahui watak seseorang, walaupun ini masalah kepercayaan. Hanya konon, apabila seseorang berhati bersih maka ia akan dengan mudah masuk di antara dua pohon beringin itu. Cara melakukan masangin sangat mudah dan sederhana. Orang yang akan melakukan masangin berdiri di sebelah utara pohon beringin kembar, ditutup matanya dengan kain hitam, lalu berjalan dari utara ke selatan menuju celah di antara dua pohon beringin. Dengan kata lain, orang itu berjalan dari utara ke selatan dengan melalui jalur di antara kedua pohon beringin yang terletak di tengah-tengah Alun-alun Selatan.  Jika berhasil melewati celah kedua pohon beringin maka dinyatakan berhasil. Akan tetapi jika arahnya melenceng maka dinyatakan gagal.
Memang tampaknya sangat mudah, tetapi pada kenyataannya banyak yang gagal melakukannya, hanya berputar-putar di tempat, meleceng jauh ke mana-mana, atau bahkan kembali ke arah awal dia berjalan. Hal ini dapat dimaklumi karena berjalan dengan mata tertutup memang tiak dapat melihat atau mengetahui arah yang akan dituju, yang sesuai dengan arah yang dikehendaki.
Sekarang setiap saat Alun-alun Selatan selalu ramai oleh berbagai aktivitas, baik hiburan, olah raga, penjual makanan dan minuman, dan kalau sore sampai malam hari biasanya aktivitas masangin ini dilakukan, baik oleh masyarakat sekitar maupun turis-turis yang datang dari berbagai daerah.
Memang pernah ada kepanitiaan yang mengadakan lomba masngin ini. Kalaupun tidak ada lomba siapa saja boleh mencoba peruntungan dengan melakukan masangin. Siapa tahu nasib baik kita berhasil melakukan dengan benar. Kalau menurut kepercayaan masyarakat biasanya ada hari-hari tertentu yang dipercaya sebagai hari keramat atau hari baik untuk melakukan masangin.
Memang bagi masyarakat Jawa, khususnya, ada hari-hari yang dianggap keramat atau diistimewakan, seperti hari Jumat Kliwon dan Selasa Kliwon, maka pada hari-hari itulah yang biasanya ramai orang melakukan ritual masangin. Banyak orang yang mencoba melakukan masangin untuk sekedar hiburan belaka. Hal ini memang tidak larangan, sepanjang di tempat itu tetap menjaga ketertiban dan tidak mengganggu orang lain. Banyak juga masyarakat luar daerah yang memang sengaja datang untuk berekreasi di sana sambil mencoba peruntungan, kalau berhasil pasti akan merasa senang sekali dan terhibur.
Wisata budaya di Yogyakarta sangat banyak, di antaranya adalah Alun-alun Selatan atau yang lebih dikenal sebagai Alun-alun Kidul. Apa saja yang dapat disaksikan di sana? Banyak sekali yang dapat disaksikan di Alun-alun Kidul, di antaranya kegiatan masangin, biasanya pada sore sampai malam hari, ada kandang gajah milik raja di sebelah barat alun-alun. Biasanya pada sore atau hari-hari libur banyak orang tua yang mengajak anak-anaknya untuk bermain dan menonton gajah tersebut. Juga banyak penjual jajanan tradisional yang dapat dijumpai setiap saat.
Menurut cerita, dahulu di Alun-alun Selatan sangat sepi, tidak ada orang yang berani lewat di malam hari. Tetapi pada kenyataannya sekarang tempat itu sangat ramai. Sejak kapan berubah menjadi ramai? Awalnya pada tahun 1980 –an di sekitar Alun-alun Selatan dibangun jalan lingkar, juga dipasang lampu-lampu penerang jalan, sehingga kalau malam suasananya tidak sepi. Aktivitas mulai ramai sejak jam 5 pagi, untuk olah raga, jalan-jalan mengelilingi alun-alun, senam pagi, dan agak siang digunakan oleh murid-murid SD untuk berolah raga. Kalau sore hari biasanya digunakan untuk bermain sepak bola, sedangkan pada malam hari warga sekitar banyak yang melakukan masangin, yaitu masuk di antara pohon beringin. Bahkan masangin ini sudah sangat terkenal dan dilakukan oleh siapa saja yang datang ke sana dan ingin melakukannya.
    Tentunya dengan adanya berbagai aktivitas di Alun-alun Selatan juga mendorong tumbuhnya aktivitas ekonomi, seperti penjual makanan atau minuman. Dengan adanya aktivitas yang tidak ada hentinya, di sana lalu ada pedagang makanan kecil, minuman, bahkan makanan pokok, seperti nasi dan lauk-pauknya juga ada. Jajanan yang dijual di sana ada berbagai macam. Kalau pagi hari jalan-jalan di sana, jika sudah lelah dapat duduk beristirahat sambil minum teh panas gula batu, jeruk panas gula batu, dengan makanan kecil jadah tempe, atau cemplon. Untuk sarapan bisa membeli nasi rames, nasi pecel, nasi rawon, lontong opor, gudhangan, dan sebagainya. Jika sore dan malam hari selalu ada penjual wedang rondhe, jagung bakar dan kacang rebus. Bahkan tidak jarang juga ada hiburan musik dangdut.
Alun-alun Selatan atau disebut juga Alun-alun Pengkeran dahulu sangat sepi, menakutkan, angker, sekarang sudah berubah menjadi tempat yang ramai, bersih, terang, dan menjadi kawasan wisata di dalam benteng karaton yang bernuansa spiritual kultural.
Walaupun tempatnya sudah banyak berubah seperti sekarang, tentunya ada ciri khusus atau makna yang mendalam yang masih abadi sejak dahulu sampai sekarang. Yang masih tetap ada yaitu pohon beringin (ringin wok), pohon beringin Supit urang, pohon pakel, pohon kweni, serta pohon gayam. Semuanya pohon tadi mengandung perlambang kehidupan masyarakat Jawa,  remaja yang menginjak dewasa, akil balik, sudah berani memanahkan isi hati di antara jejaka dan gadis. Juga mengandung makna harus selalu dapat menjaga ketenteraman, kedamaian, perlindungan, dan selalu mengungkapkan sesuatu dengan kata-kata yang manis dan indah.

Tentunya ada makna yang secara menyeluruh dapat dipahami dengan suasana sekitar Alun-alun Selatan ini. Makna yang terkandung dalam gambaran tadi adalah prinsip kebersamaan, gotong-royong, bersatu padu untuk mencapai manunggaling kawula gusti, dan membangun kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat. Jadi dapat dikatakan bahwa Alun-alun Selatan atau Alun-alun Pengkeran memiliki makna simbolik bagi kehidupan, khususnya tentang dimulainya kehidupan manusia menjelang dewasa yang dilambangkan dengan berbagai jenis pohon yang ditanam di sekitar Alun-alun Selatan ini. Semoga apa yang ada di sana akan tetap lestari semakin dikenal oleh masyarakat luas, dan menjadi pelajaran yang berharga bagi kita semua.

Artikel Perpustakaan Lainnya

CERITA RAKYAT : BEGAWAN SELAPAWENING CERITA RAKYAT : BEGAWAN SELAPAWENING
 10 January 2014  3875

Cerita rakyat Begawan Selapawening berkembang di daerah Yogyakarta bagian selatan, yaitu di Desa Pemancingan, Kabupaten Bantul....

Library Trends in Era of Internetof Thing Library Trends in Era of Internetof Thing
 16 August 2022  581

In 2022 the library will increasingly become a cyber library. Cyber library is a library that uses internet information technology...

Lomba literasi Lomba literasi
 23 June 2021  1320

Perpustakaan Nasional RI akan mengadakan Lomba Literasi yang berupa artikel 500 -700 kata,podcast 2-3 menit, video pendek 30...

TRADISI MACAPATAN DI YOGYAKARTA TRADISI MACAPATAN DI YOGYAKARTA
 31 December 2013  5098

TRADISI MACAPATAN DI YOGYAKARTATiti Mumfangatititimumfangati@gmail.com Masyarakat Jawa, khususnya Yogyakarta mempunyai adat,...