Sekilas nampak ada kejanggalan hubungan antara jadwal retensi arsip, penilaian arsip, dan pemusnahan arsip. Jadwal retensi arsip adalah ketentuan berapa lama suatu arsip harus disimpan sebagai arsip aktif, arsip inaktif dan nasib akhir arsip yang bersangkutan musnah atau tidak musnah (statis). Penilaian arsip adalah analisa informasi terhadap sekelompok arsip untuk menentukan nilai guna danjangka simpan arsip dilihat dari kaidah hukum dan kepentingan operasional lembaga pencipta. (ANRI, 2002). Penilaian arsip dalam rangka pemusnahan merupakan tindakan menganalisis apakah arsip yang menurut JRA dinyatakan musnah benar-benar sudah boleh dimusnahkan. Sedangkan pemusnahan adalah pembunuhan suatu arsip dengan cara menghancur leburkan secara total sampai sampai tidak dikenali lagi baikbentuk fisiknya maupun informasinya.
Kemudian
dimana letak kejanggalan ketiga hal di atas adalah ;
1. Dalam
JRA telah ditentukan arsip apa, disimpan berapa lama, dan setelah masa simpan
habis maka dimusnahkan atau diserahkan sebagai arsip statis. Sehingga kegunaan JRA adalah sebagai alat untuk
mengatur arsip berapa lama suatu arsip harus disimpan, dan kapan harus
dimusnahkan atau diserahkan. Jadwal Retensi Arsip memiliki kekuatan hukum yang
tetap karena disusun dalam bentuk produk hukum yaitu peraturan
gubernur/bupati/walikota dan disetujui oleh lembaga kearsipan tertinggi di
Indonesia yaitu Kepala ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia). Jadwal Retensi
Arsip sudah disusun sudah sedemikian rupa, tidak sembarangan tetapi sudah
menggunakan perhitungan yang matang dan berdasarkan pedoman retensi yang dibuat
oleh ANRI yang melibatkan lembaga – lembaga terkait. Sehingga apabila melihat
proses penyusunannya, sudah barang tentu kualitas pedoman retensi maupun JRA
tidak lagi diragukan. Sehingga dengan JRA maka kegunaan dan “masa depan”
arsip telah jelas dan tegas
Tetapi mengapa ketika instansi
akan memusnahkan arsipnya harus dilakukan penilaian lagi ? Bukankah sudah dinyatakan dengan jelas dan
tegas dalam JRA mengenai nasib akhir arsip ? Kalau demikian apa fungsi dari JRA
?
2. Jadwal
Retensi Arsip yang disusun oleh pemerintah daerah, sebelum ditanda tangani oleh
Gubernur/Bupati/walikota wajib dimintakan dan mendapat persetujuan Kepala ANRI
terlebih dahulu. Maka ada jaminan bahwa JRA yang disusun oleh pemda sudah
sesuai dengan ketentuan dan tidak melanggar kaidah-kaidah kearsipan sehingga
tidak ada yang perlu dikhawatirkan terjadinya pemusnahan terhadap arsip yang
sebenarnya tidak boleh dimusnahkan yang akan berakibat hilangnya informasi
kesejarahan atau sebaliknya instansi juga tidak akan menyimpan arsip yang
seharusnya tidak disimpan selama-lamanya yang akan berdampak terjadinya
pemborosan.
Tetapi mengapa ketika instansi
akan melaksanakan pemusnahan arsip harus mendapat persetujuan ANRI (untuk arsip
yang memiliki umur simpan minimal 10
tahun ? Bukankah Kepala ANRI sudah
menyetujui JRA yang diusulkan oleh
instansi ? Kalau demikian apa gunanya Kepala ANRI memberikan persetujuan JRA
kalau pemusnahannya juga masih minta persetujuan Kepala ANRI ?
Hal
ini yang melatarbelakangi penulis tertarik untuk menguraikan tentang JRA, penilaian,
dan pemusnahan serta keterkaitan ketiga hal tersebut .
A. Jadwal Retensi Arsip
Undang-Undang Kearsipan Nomor 43 Tahun
2009 pasal 48 mengamanatkan setiap instansi untuk menyusun Jadwal Retensi Arsip.
Bahkan hukumnya wajib dan bagi yang tidak melaksanakan dikenakan sanksi
administratif sebagaimana diatur dalam pasal 78 ayat (1), yang berbunyi sebagai
berikut ; “ Pejabat dan/atau pelaksana yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal …..48 ayat (1) …..dikenai
sanksi administrative berupa teguran tertulis”. Kemudian ayat (2) ; “ apabila
selama 6 (enam) bulan tidak melakukan perbaikan, pejabat dan/atau pelaksana
sebagaimana dimaksud ayat (1) dikenai sanksi administrative berupa penundaan
kenaikangaji berkala untuk palinglama 1 (satu) tahun. Dan ayat (3) ; “apabila
selama 6 (enam) bulan berikutya tidak melaakkan perbaikan, pejabat dan/atau pelaksana sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa penundaan kenaikan pangkat untuk
paling lama 1 (satu) tahun.
Kewajiban yang disertai sanksi
tersebut menunjukan betapa pentingnya JRA dalam pengelolaan kearsipan. Kalau boleh
saya ibaratkan, JRA itu seperti tongkat bagi orang buta. Tongkat yang akan
membimbing si buta untuk berjalan menuju tujuan. Tongkat sekaligus sebagai
pelindung bagi si buta agar tidak masuk lubang sekaligus sebagai tanda bagi
orang lain, pengendara mobil/motor sehingga mereka berhati-hati dan mengalah
bahkan melindungi si buta tersebut. Demikian juga dengan JRA, JRA akan menuntun
pemilik arsip dalam memperlakukan arsip yang dimilikinya. Berapa lama arsip
harus disimpan, kapan dimusnahkan atau diserahkan. Dan JRA sekaligus akan
melindung pemilik dari jeratan hukum apabila terjadi “kesalahan” dalam melaksanakan
pemusnahan arsip. Misalnya, arsip yang sudah dimusnahkan tiba-tiba dicari
kembali untuk barang bukti penyelesaian suatu kasus, dan lain sebagainya. Maka
apabila terjadi hal seperti ini maka pelaksana pemusnahan tidak dapat dituntut
karena sudah berpedoman pada JRA ketika melakukan pemusnahan dan sudah melalaui
prosedur yang dipersyaratakan dalam peraturan perundangan pemusnahan.
Karena itulah, JRA harus dibuat
dalam bentuk produk hukum agar mempunyai kekuatan hukum dan disetujui oleh
Kepala ANRI sebelum disahkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota. Beda halnya bagi instansi yang tidak memiliki
JRA. Dapat dipastikan program pemusnahan akan sulit dilaksanakan.
B.Penilaian
Penilaian arsip merupakan
tindakan yang dilakukan oleh tim/panitia yang berupa kajian/analisa terhadap
arsip yang akan dimusnakan. Tindakan ini bertujuan untuk pemantapan dan lebih
meyakinkan bahwa arsip yang sudah dinyatakan musnah dalam JRA benar-benar sudah
waktunya untuk dimusnahkan karena tidak lagi digunakan baik oleh pemilik maupun
oleh pihak lain, tidak ada peraturan yang melarang, dan tidak terkait dengan suatu
perkara baik yang sedang berlangsung maupun yang dimungkinkan kelak akan muncul.
Jadi penilaian arsip dalam
rangka pemusnahan bertujuan untuk menjajaki posisi arsip dalam kondisi saat ini
dan kemungkinan - kemungkinan akan datang. Maka penilaian arsip tidak boleh
dilakukan sembarang orang dan secara
sembarangan karena membawa resiko yang sama-sama berat apabila sampai terjadi
kesalahan dalam menentukan vonis/nasib akhir suatu arsip. Pertama, arsip yang
sebenarnya tidak atau belum boleh musnah
tetapi divonis boleh dimusnahkan maka
organisasi akan kehilangan barang
bukti, memori organisasi yang tidak tergantikan oleh apapun. Artinya organisasi
akan kecewa sampai mati. Sebaliknya apabila arsip yang sebenarnya boleh dan
sudah waktunya dimusnahkan tetapi masih disimpan maka organisasi telah
melakukan tindakan pemborosan baik tempat, peralatan, waktu, tenaga, dan biaya.
Oleh karena itu untuk meminimalisir resiko terjadinya kesalahan dalam
penilaian, maka penilaian wajib dilakukan oleh Tim /Panitia Penilai. Selain itu hasil penilaian harus mendapat
persetujuan dari Gubernur/Bupati/Walikota bahkan untuk arsip yang retensinya 10
tahun atau lebih wajib mendapat persetujuan dari Kepala ANRI (PP 28 Tahun 2012
psl 66-78). Hal ini dilakukan karena yang akan dimusnahkan adalah satu-satunya
barang bukti yang otentik.
C.Pemusnahan
Tindaklanjut dari kegiatan penilaian
adalah pemusnahan setelah hasil penilaian disetujui oleh pejabat yang berwenang.
Sebelum mendapat persetujuan dari pejabat yang berwenang dilarang keras siapapun
melaksanakan pemusnahan. Pelanggaran terhadap larangan tersebut akan dikenakan
sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kearsian Nomor 43 tahun 2009
pasal 86 yang menyatakan bahwa “ Setiap
orang yang dengan sengaja memusnahkan arsip di luar prosedur yang benar
dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh)tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus
juta rupiah)”.
Persetujuan pemusnahan
diperlukan untuk meminimalisir terjadinya salah
musnah yang dapat menimbulkan masalah yang lebih luas bisa masalah ekonomi, sosial, agama, politik, keamanan,
budaya dan lain sebagainya. Pemusnahan arsip harus total artinya baik fisik maupun
informasinya harus tidak dapat dikenali lagi. Adapun teknisnya dapat dilakukan
dengan cara dibakar, didaur ulang/kimiawi, dicacah, atau cara lain yang mampu
menjamin leburnya arsip sehingga tidak memungkin
lagi untuk digunakan dan disalahgunakan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
Kegiatan
ekskusi arsip harus didokumentasikan dan dikelola sebagai arsip vital (PP
28/2012 pasal 78), dan berdasarkan Peraturan Kepala Arsip Nasional RI Nomor 19 Tahun 2015, dokumen
pemusnahan arsip merupakan arsip permanen setelah disimpan selama 2 tahun
sebagai arsip dinamis. yaitu : Surat Keputusan Pembentukan
Panitia Penilai, penilaian panitia penilai, permintaaan persetujuan pemusnahan,
penetapan arsip yang akan dimusnahkan, berita acara pemusnahan, daftar arsip yang
dimusnahkan. Dan apabila diperlukan dapat ditambah surat perjanjian pemusnahan apabila pemusnahan
dilakukan oleh pihak ketiga, dan dapat dilengkapi dengan dokumen lain seperti
foto maupun rekaman video pada saat pelaksanaan pemusnahan.
D.
Keterkaitan
antara JRA, Penilaian, dan Pemusnahan
Sebagaimana
telah diuraikan di atas bahwa arsip bukan informasi biasa karena informasi yang terkandung dalam arsip bukan informasi
yang dibuat-buat tetapi informasi yang lahir secara alami. Maka ia juga akan
digunakan secara alami pula sehingga sulit dipastikan kapan suatu arsip akan
digunakan lagi, bisa satu minggu, satu bulan, satu tahun,
bahkan sepuluh tahun atau ratusan tahun yang akan datang arsip akan dibangunkan
lagi untuk digunakan kembali. Tidak ada yang tahu.
Tetapi
perlu disadari bahwa arsip lahir setiap hari. Bagaimana kalau tidak ada arsip
yang mati ? Mampukah organisasi menampung semua arsip yang lahir ? Berapa
tempat yang harus disiapkan ? Berapa peralatan, tenaga, waktu yang harus
sediakan ? Seperti didunia ini bagaimana kalau tidak ada manusia yang meninggal
sedangkan puluhan bahkan ratusan bayi lahir setiap hari ? Pasti akan terjadi masalah besar. Demikian pula dengan arsip apabila
tidak ada program pemusnahan maka akan timbul masalah besar bagi pencipta arsip
maupun pemerintah. Oleh karena itu Undang-Undang Kearsipan Nomor 43 Thaun 2009 mewajibkan
setiap pencipta melakukan pemusnahan arsip berdasarkan Jadwal Retensi Arsip.
Pemusnahan
dilakukan terhadap arsip-arsip yang dinyatakan musnah berdasarkan JRA dan memang
sudah tidak digunakan baik oleh pemilik maupun masyarakat setelah sebelumnya
dilakukan penilaian. Sehingga arsip yang dimusnahkan benar-benar sudah tidak digunakan.
Kalaupun suatu saat nanti arsip yang sudah terlanjur dimusnahkan tiba-tiba di
cari kembali untuk digunakan karena terkait dengan masalah yang terjadi maka hal
tersebut sudah diluar kemampuan manusia. Maka anggap saja sebagai takdir yang
memang harus terjadi dan tidak perlu ditangisi. Apabila pemusnahan yang
dilakukan sudah sesuai dengan prosedur yaitu berdasarkan JRA, sudah dilakukan
penilaian, dan disetujui pejabat yang berwenang.
Oleh
karena itu antara JRA, penilaian, dan pemusnahan ibarat sebuah gambar segitiga
yang antara garis yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Kalau hilang
satu garis saja tidak lagi dinamakan gambar segitiga tetapi sudah gambar sudut.
Ketika instansi akan melakukan pemusnahan maka harus melihat JRA apakah arsip
yang akan dimusnahkan termasuk golongan arsip musnah atau bukan ?. Kemudian
kalau menurut JRA termasuk golongan arsip musnah, apakah sesuai kondisi saat
ini arsip tersebut sudah waktunya untuk dimusnahkan ? Guna menjawab pertanyaan tersebut maka dilakukan
tindakan penilaian untuk menguji kembali kesesuaian antara arsip dengan kondisi
terkini. Dan setelah arsip dilakukan penilaian dan hasil dari penilaian adalah musnah
maka arsip harus segera dimusnahkan setelah mendapat persetujuan, karena kalau
tidak segera ditindaklanjuti dengan pemusnahan maka tidak ada gunanya dilakukan
penilaian karena tetap akan menjadi beban instansi terkait dengan pemeliharaan.
Pada hal tujuan dari penilaian dan pemusnahan adalah efisiensi sumber daya atau
pengurangan beban pengelolaan.
E. Kesimpulan
Memiliki
JRA dan melaksanakan pemusnahan merupakan kewajiban bagi setiap instansi. Dan
salah satu tahapan dalam pemusnahan adalah penilaian dan permintaan persetujuan.
Ketiga hal tersebut tidak dapat
dipisahkan karena saling berkaitan. Persetujuan pemusnahan dari pejabat yang
bewenang diperlukan untuk meminimalisir munculnya
masalah dikemudian hari dan sekaligus sebagai upaya penyelamatan bukti-bukti
sejarah.
*Arsiparis Madya Badan Perputakaaan dan Arsip Daerah DIY,
Referensi
Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan
Peraturan
Pemerintah Nomor 28 tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 Tahun
2009 tentang Kearsipan
Peraturan
Kepala Arsip Nasional RI Nomor 19 Tahun
2015 tentang Pedoman Retensi Arsip Urusan Kearsipan
Penyusutan
Arsip, Seri Bahan Pengajaran Diklat Jabatan Fungsional Arsiparis,Jakarta :
Arsip Nasional Republik Indonesia, 2002.
Artikel Kearsipan Lainnya
Dewan Perwakilan rakyat Daerah (DPRD) adalah lembaga politik di daerah yang memiliki fungsi strategis dalam kehidupan berbangsa...
Penyelenggaraan kearsipan di Indonesia secara umum didasarkan pada Undang- Undang Nomor 43 tahun 2009 tentang Kearsipan. ...