Oleh:
Mr. C. van VOLLENHOVEN
Penterjemah:
Hendrikus Franz Josef, M.Si
(Pustakawah Ahli-Muda)
2
CATATAN TAMBAHAN PADA LAPORAN TANGGAL 16
APRIL 1904 TENTANG HUKUM NEGARA MENGENAI
PERTANIAN PENDUDUK NASIONAL JAWA DAN MADURA
OLEH TUAN VOLLENHOVEN
1. Jalan di belakang sebelah kanan pertanian daerah Jawa
jaman dahulu pada mulanya hanya bisa ditemukan dalam
dua kasus dalam hukum dan lembaga hukum para pangeran
Jawa. Pertama-tama, jika pemerintahan kerajaan Jawa
bahkan yang lebih lama, atau bahkan lebih tua dari
keberadaan hak dasar penduduk: jika ditemukan kekosongan
hukum pertanahan, dan dengan inti ide dan langkah-langkah
akan yang mengisi kekosongan. Ini tidak ada asumsi yang
akan dibuat oleh siapa pun; dalam hal ini, di bagian selatan
Banten, yang tidak pernah mengetahuin otoritas kerajaan.
Namun demikian, memiliki hak atas tanah yang terkait dengan
wilayah Jawa lainnya. Hal kedua yang diperkirakan terjadi
adalah jika hak tanah penduduk yang lebih lama telah
mendahului pemerintah Jawa, tetapi kekuatan pemerintah ini
sepenuhnya ditekan. Bahkan mereka yang memberikan
kekuatan seperti itu kepada para pangeran berkaitan dengan
lingkungan kota kerajaan mereka (orang kaya dari Mataram,
Tjerbon, Banten), akan waspada dan percaya bahwa para
3
pangeran sampai ke pelosok wilayah mereka mampu
menggeser hak rakyat asli yang berdiam lebih lama.
Derbalve tidak memiliki metode lain selain mencari hukum
pertanian penduduk Jawa, terlepas dari pengaruh apa pun
dari pangeran sebelumnya atau yang lebih baru dan secara
eksklusif terkait dengan desain dari desanya, dan kemudian
bertanya, sampai sejauh mana sekarang hukum pangeran
mungkin telah berubah dalam praktik. Untuk Bali dan Lombok
berada di tangan para ahli yang sangat baik, terbukti menjadi
model pengujian metode ini; dan juga untuk orang lain, ini
merupakan satu-satunya cara untuk mengikuti aturan
pemerintahan kerajaan di dalam atau di luar Jawa.
2. Jawaban atas pertanyaan tentang hak tanah adat kuno
penduduk Jawa sangat difasilitasi oleh apa yang diketahui
dari daerah lain di Indonesia. Tidak ada yang dapat membagi
empat bagian (vif book decellen) Panddecten van Adatrecht
(1914-1918) dibaca tanpa melihat hukum populer agraria
Jawa, persis ini ibarat menarik anjing yang sama
menunjukkan hukum pertanian pertanian dari pulau-pulau
lain. Hak pembuangan, hak kesenangan, hak istimewa, hak
properti asli, hak koleksi, hak padang rumput dan perburuan,
hak gadai, hak sub-konstruksi dan sewa lapangan, dan lain
lain.
Kalimantan, Sulawesi, Timor dan Bali, bahkan tanah Sunda
4
di mana, seperti di Atjeh, ada hak disposisi kebun binatang
saat hak kepemilikan asli telah menghilang sebagai hasilnya
sampai hak properti di Timor akan diakui, namun
meninggalkan hak tanahnya hanya menjelaskan berdasarkan
bahasa Indonesia secara umum.
3. Nick, di sisi lain, menemukan salah satu sifat di Indonesia
ini, pernyataan hukum pertanahan Jawa dalam hukum
pertanahan para pangeran. Baik lingkaran disposisi desa
maupun pengakuan atau pamesi, bukan tanggung jawab
desa, juga tidak tidak ada efek hukum pembatasan hutan di
sana-sini, juga tidak luar desa dengan transaksi tanah yang
penting tidak satu pun dari hak adat atas air dapat dicapai
oleh para pangeran bahwa ia memiliki semua tanah-air dan
hak-hak tertentu. Sebenarnya ini menyatakan juga dengan
sendirinya; karena sultan hampir tidak tahu hak asasi
manusia rakyatnya, dan tidak tertarik masalah ini sama
sekali, dan karena itu tidak lembaganya tidak menganut
pandangan tentang tanah.
4. Seperti halnya hukum pertanahan, inilah masalahnya
dengan hukum Agraria Negara, ada perbedaan mencolok
antara kuli/buruh kenceng (anggota masyarakat yang
mempunyai tanah sawah, tanah pekarangan dan tanah tegalanPenterjemah) dan penduduk lainnya di negara ini. Perbedaan
ini juga belum diatasi oleh para ahli. Ini merupakan desa
kuno utama asli, yang mungkin di seluruh Indonesia dan
5
dalam hal apapun seluruh area langsung dan salah satu dari
tiga kelas desa kembali ke masa lalu desa milik penduduk
setempat sebagai pengguna semua seumber daya tetapi
kemudian juga menanggung semua beban. Di tengah
administrasi kerajaan dibuat dan dijelaskan oleh hukum
kerajaan untuk menjadi patokan, peraturan Kuli Kenceng
telah terpengaruh, terhambat, tidak diketahui, didistorsi oleh
tindakan para pangeran. Dari hukum kerajaan juga tidak
dapat dijelaskan pendapatan apa yang diterima oleh kepala
desa secara tradisional (meskipun kemudian pemerintah
kerajaan mendapat pengaruh), juga tidak dapat dijelaskan
dari hukum kerajaan mengapa hukum pertanahan di tanah
Sunda menjadi sangat berbeda dari Jawa Tengah dan Jawa
Timur, dan ak umat Islam yang disita untuk membantu
melawan pengaruh Hindu dapat tidak menyelesaikan
masalah, yang jawabannya hanya dapat ditemukan di hak
disposisi asli lama, yang di Jawa Tengah namun kuat dan
sudah usang di Jawa Barat
5. Apa yang disebut hak milik komunal Jawa (itu jika
kepemilikan milik orang lain selain kotamadya, dan jika hak
kotamadya adalah hak selain hak kepemilikan) tidak
diragukan lagi konstruksi yang lebih solid dari sesama warga
desa sebagai orang yang mendiami lebih lama dari pada yang
orang sudah berganti-ganti, dan distorsi ini pasti merugikan
penduduk yang di bawah pengaruh pemerintah kerajaan,
sama seperti yang lebih buruk dari gubernurnement. Tetapi
6
hak desa itu sendiri tidak lain adalah hak disposisi asli lama
yang memiliki efek tanah budidaya; dan jatuhnya kembali
tanah pertanian yang tidak dikelola di bawah hak disposisi
masyarakat desa yang tidak dibatasi, yang sangat
menghambat terbentuknya dan meningkatnya properti
komunal, tidak dapat dijelaskan oleh hukum kerajaan. Justru
itu di hak pembuangan tanah Sunda menghilang, dan bahwa
penurunan tanah yang jarang diolah dapat terjadi di sana
melalui penguatan hak-hak properti nasional, yangt telah
membuat pengenalan properti komersial di Jawa Barat
menjadi tidak mungkin.
6. Hak atas properti pertanian tahun 1872 yang rumit dan
pemerintahan yang tidak berfungsi melakukan perbedaan
hak atas tanah di Kedu dan Banten (dan seterusnya) Lombok,
dan tempat lain di Jawa berakibat membingungkan. Dua
institusi tersebut memiliki kesamaan, tetapi tidak ada afiliasi.
Yang pertama mengingingkan berfungsi untuk para petani
yang besar; yang kedua hanya bekerja untuk beberapa orang
pilihan pangeran.
7. Juga menarik bagi karya-karya Hindu yang mendukung
hukum pertanian kerajaan Hindu di sini untuk penduduk tetap
seperti di Bali, dan juga dengan para pangeran sendiri yang
jarang diketahui. Tetapi di beberapa tempat diterbitkan bukubuku hukum Hindu, yang dikutip berulang-ulang,
membuktikan tidak ada, karena kata yang sama digunakan
7
untuk mengatakan di dalamnya bahwa pangeran adalah
pemilik semua tanah, akan segera digunakan karya yang
sama untuk mengatakan bahwa penduduk asli adalah pemilik
tanah atau bahwa para dewa adalah pemiliknya semuanya.
Dari properti raja yang teratas, hak yang lebih rendah dari
pemilik tanah yang muncul dari teks-teks itu sama sekali
tidak ada; dan Kem menyangkal, bahwa halitu baik untuk
Jawa, bahwa hukum Hindu melibatkan hal semacam itu.
8. Sejauh ini, tidak banyak pengaruh kerajaan yang muncul
pada hukum pertanahan. Di provinsi terluar kerajaan Mataram
(kira-kira di daerah Madura, Surabaya, Rembang Semarang,
Pekalongan, Kediri, Madioen dan Banyumas) pemerintah
kerajaan tidak mampu menghapuskan hak pertanian rakyat.
Mungkin saja bahwa di wilayah Surabaya pengaruh kerajaan
kuat dan mengganggu, situasi seperti itu dialami ketika
memutuskan bahwa di mana-mana di semua provinsi
pinggiran Mataram, tidak ada terlalu terpengaruh. Tentu saja
tidak dapat diperdebatkan bahwa keuntungan tanah (pakaj
bumi, pajak sawah) dibesarkan yang dilakukan oleh para
pangeran di Bali, Sulawesi Selatan dan tempat yang nilainya
btidak sama? dan bahwa para pangeran kadang-kadang
memiliki kendali atas tanah yang dianggap demi kebaikan,
tujuan agama, dan lain-lain karena lokasinya dekat.
Ringkasnya jelas, bahwa hak asli untuk memiliki tanah
bukanlah ciptaan, tetapi ada sepanjang musim hujan. Bahkan
Mataram menutup tanah untuk penunjukan siapa yang wajib
8
membayar bunga tanah dan dinas militer akan berada di luar
provinsi, sepenuhnya sesuai dengan pemukiman desa yang
lama sehubungan dengan penanggungan beban desa
(membuat perbedaan antara tiga kelas desa); juga para
kepala desa di Mataram salah karena memperalat kepala
adat desa setempat, bukan dari royal retmasters (bels)
dengan bidang kerajaan. Masuk Preanger dan Banten adalah
pelanggaran hukum pertanahan publik yg ditetapkan oleh
bupati Preanger tinggi atau oleh Sultan Banten bahkan di
daerah sekitar kota kerajaannya, tetapi sedikit.
9. Di antaranya adalah konsepsi yang tidak berfungsi, apakah
tanah yang sudah diakui akan dicari oleh penduduk Jawa
secara keseluruhan negara bagian kerajaan?. Raffles telah
menemukan jawabannya; Kemudian Van den Bosch bingung
dengan teori tentang hal itu berdasarkan apa yang dia
pikirkan, Preanger juga menawarkan, menggeneralisasi.
Tidak ada alasan untuk kemudian mengikuti gerakan frontal
yang tidak jelas ini; hal ini menjadi keluhan kita. Setelah
seratus tahun, kita sekarang dibodohi oleh kesalahan yang
dibawa oleh Raffles.
10. Atau apakah pencabutan pajak bumi itu sendiri
membuktikan dirinya sendiri, oleh karena itu juga untuk
provinsi luar, bahwa ada penduduk yang memiliki rasio subbangunan atau setidaknya, selama bisa menghasilkan panen,
apakah sudah ada?. Mungkin ada hasil panen yang dipungut
9
sebagai persentase panen (Preanger. Banten) atau sesuai
dengan perkiraan dalam bentuk produktivitas tanah (Bali,
Mataram), konsekuensinya, bahwa pemilik tanah
menghabiskan garapannya dalam konstruksi sebagian.
Ketidakpastian pandangan ini ada paling jelas di Sulawesi
Selatan, karena ada pajak, oleh para pangeran yang
dibebankan dari ladang yang dimiliki oleh hukum adat asli,
dan hasil sub-konstrak, dinikmati oleh para pangeran dari
konstrak tanah yang diberikan kerajaan (bidang ornamen),
terus ditafsirkan dengan istilah yang berbeda, bahkan jika itu
adalah jumlah yang diterima sama dan serupa. Sayangnya, di
Jawa kita dapat menemukan bantuan sederhana ini; karena
Pajag dapat menangani keduanya, artinya (bunga tanah)
sebagai jumlah sewa. Tetapi setiap penduduk dibolehkan
menunjukkan kemenangan pada kasus-kasusnya, bahkan
mungkin sebelumnya pajak provinsi luar dianggap sebagai
maron (pembagian hasil panen) ditunjukkan-tidak mungkin,
karena mereka telah dikenakan pajak sejak waktu yang lama
dari nilai uang yang mengalami inflasi, setelah
dipertimbangkan bahwa penggunaan bahasa Jawa
kehilangan relevansinya dan menggunakan catatan untuk
semua jenis tokoh yang tidak memiliki kesamaan dengan
istilah maron dengan sub-konstrak tetapi penerapan bagian
panen proporsional: maron sebagai papan upeti, maron
sebagai pengakuan karena hak untuk diperlakukan untuk
mengolah ladang, maron sebagai pembayaran kepada
manajer, maron sebagai hadiah untuk wajib militer, dan
10
dipaksa untuk mengolah sawah tertentu bagi kemakmuran
penguasa. hal ini sebgai haluan kami, itu menunjukkan,
bahwa transaksi sub-kontrak nyata setelah panen atau dari
tahun panen dapat dibatalkan oleh salah satu pihak,
sedangkan hak dasar penduduk yang membayar pajak padi di
provinsi luar hanya dapat dibatalkan dalam serangkaian
kasus.
11. Jadi terbatas untuk sebagian besar para pangeran dari
jawa berpengaruh pada hak tanah rakyat untuk memungut
pajak dan hal-hal semacam itu, hukum pertanian wilayah
Kerajaan saat ini mengacaukan bidang pertanian. Di situlah
sang pangeran, dengan perampasan, telah menjadi penguasa
yang bertanggung jawab atas semua tanah; memang ada hak
pengolahan tanah, hak sewa, hak preferensial, hak padang
rumput, dan lain-lain. Ini melegakan, hak kepemilikan tanah
dikelola denga benar. Orang dari bagian Timur, yang
dihadapi oleh Siak sebagai lawan dari bagian penantangnya,
yang ditunjukan oleh Ternate, Lombok, dan Bangli. Tetapi di
sini, dalam kasus Kulis, Kenjeng juga melihat hukum populer
agraria Indonesia melalui celah-celah adat kerajaan; dan di
Kedu-Bagelen, karena mereka ditarik dari dan dekat daerah
inti Mataram wilayah pemerintahan ditambahkan (1812,
1831), seolah-olah hak pengolahan tanah dengan semua
orang pribumi lainnya telah dihidupkan kembali. Dalam hal ini
Goavernement tidak terpikirkan, karena ada hak, di mana
agensi di India tidak memiliki gagasan, menentang
11
pengakuan melawan dengan kekuatan fisik, dan begitu pula
mereka mustahil untuk bekerjasama.
12. Untuk daerah yang terakhir, wilayah kerajaan saat ini,
oleh karena itu, memiliki banyak nilai dalam hukum dan
institusi hukum. Di sini kepemilikan tanah sang pangeran
adalah hak dasar praktis (bahkan tidak historis): kepemilikan
itu meningkatkan hak-hak dasar rakyat yang yang selama ini
diperlakukan sewenang-wenang. Bahkan tidak ada hubungan
pembagian-pengelolaan tanah, meskipun kata maron dan
kata sistem maron sedang digemari untuk pembagiuan hasil
poanen; baik di Lombok, maupun di wilayah yang dikuasai
swasta di timur Cimanuk yang situasinya tidak menentu
Perpustakaan Lainnya
Kepala Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) DIY, Monika Nur Lastiyani mengajak masyarakat untuk memanfaatkan keberadaan...
Repository Library As Scientific Special Publishing Copy Right Writer: Hendrikus Franz Josef, M.Si ...
Senin Pagi ( 04/04) di ruang Gedung Serbaguna Desa Bangunjiwo diadakan Bedah Buku WIRAUSAHA yang berjudul "PEMBERDAYAAN DAN...
Ebook Wayang Cina-Jawa, Koleksi IndonesiaHeritage Pada 1920, Gan Thwan Sing, seorang seniman Tionghoa peranakan yang tinggal di...