Kehidupan pada era milenium ketigabukan hanya berdimensi domestik tetapi global. Hilangnya sekat antar bangsa secara konvensional membawa konsekuensi bagi kecepatan arus informasi. Demikian halnya dengan otoritas kebijakan yang semula secara ‘mutlak’ dipegang oleh negara, bergeser dibawah pengaruh badan-badan internasional, badan swasta, pemilik modal, atau individu-individu yang memiliki otoritas (Martin Khor, 2002, hlm.13). Ketersediaan informasi menjadi elemen penentu dalam pergeseran ini. Di era yang menurut Djamaluddin Ancok (Djamaluddin Ancok, 2001) ditandai dengan pola permainan zero sum game, saya menang kamu kalah-kamu menang saya kalah, orang dituntut untuk menjadi pelayan dunia, serve as a global steward. Kondisi global yang demikian menuntut adanya kepemerintahan yang bersih (good governance).
Good governance adalah impian yang didambakan setiap warga negara Indonesia. Bukan hanya pasca reformasi tetapi sebenarnya juga merupakan cita-cita founding fathers negara Republik Indonesia. Negara pun menggantungkan cita-cita tersebut, khususnya kepada para penyelenggara negara.
Sejak proklamasi kemerdekaan hingga saat ini tidak henti-hentinya diupayakan mewujudkan terwujudnya good governance tetapi tak henti-henti pula berbagai kasus yang mengotori upaya mewujudkan mimpi tersebut. Korupsi, kolusi, nepotisme, pungutan liar, kesewenang-wenangan, penyerobotan, penindasan, penistaan, dan sebagainya tak henti mendera para pengelola negara. Langkah dan kebijakan untuk menghentikan praktik-praktik yang menghambat perwujudan good governance pun dilakukan. Beberapa contoh bisa dikemukakan seperti berdirinya lembaga anti korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi, hingga sapu bersih pungli tetapi selama ini hal tersebut juga seperti angin-anginan. Tidak jarang mereka yang duduk di lembaga-lembaga ‘penyapu ranjau’ tersebut justru terlibat di dalam praktik-praktik kotor. Termasuk juga para aparat penegak hukum pun banyak terlibat dalam tindakan yang semestinya mereka perangi.
Di sisi lain berbagai perundangan yang mempersempit tindakan-tindakan yang menghambat terwujudnya good governance pun dibuat. Sanksi perdata dan sanksi pidana diperberat. Berbagai lembaga anti korupsi dan sejenisnya pun bermunculan, tetapi hal tersebut tak juga membuat para pelaku menjadi jera. Demikian sulitkah meraih mimpi mewujudkan pemerintahan yang bersih? Bukankah upaya mewujudkan good governance merupakan kehendak setiap rakyat Indonesia? Apakah semua sekedar jargon atau omong kosong?
Download Artikel Pada Format PDF diatas
Kearsipan Lainnya
Selasa, 21 Juni 2016 BPAD DIYmenerima kunjungan dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologidan Pemuliaan Tanaman...
Dinas Peprustakaan dan Arsip Daerah DIY telah mengumumkan 5 besar Pemilihan Duta Arsip DIY, yang di selenggarakan pada Rabu, 6...
Wisata Arsip Gelombang #2 kembali lagi diadakan oleh Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah (DPAD) DIY. Kegiatan ini sangat...
Hari Senin 23Nopember 2015 Tim P3D (Pedoman Pengalihan Personil, Pembiayaan, Sarana danPrasarana, serta Dokumen) bidang Dokumen...