Barcode dan Perpustakaan yang Efisien
Oleh: Wahyu Dona Pasa Sulendra, S.IP
Buku memiliki banyak komponen. Salah satunya adalah penanda kecil yang sering disebut dengan Universal Product Code alias UPC, atau mungkin lebih kita kenal dengan sebutan Barcode. Pemanfaatan barcode untuk transaksi perpustakaan yang lebih cepat telah teruji oleh waktu, dan semakin banyak perpustakaan menggunakan teknologi ini. Hal ini didukung dengan transfer data barcode yang dapat bekerja dengan database perpustakaan sehingga dapat digunakan untuk transaksi perpustakaan yang lebih efisien.
Deretan balok beserta angka yang sering tertera di balik buku maupun berbagai produk tersebut telah membuat segala proses yang berkaitan dengan pengelolaan buku berjalan jauh lebih cepat. Pekerjaan sirkulasi di perpustakaan biasanya melibatkan proses memasukkan data dalam jumlah besar. Kadang-kadang, staf perpustakaan harus mengetik ulang informasi yang sama karena ada kesalahan entri data. Semua ini menyebabkan antrian panjang di meja sirkulasi perpustakaan. Jenis kendala seperti ini dapat ditangani dalam waktu yang jauh lebih singkat dengan penerapan barcode, salah satu teknologi coding sederhana yang kini telah beredar luas di masyarakat. Bahkan berdasar hasil riset di Perpustakaan Universitas Hyderabad, India, Kecepatan data capture menggunakan barcode lebih cepat tiga kali lipat, jika dibandingkan dengan jumlah waktu yang tersita saat operator mengentri data secara manual.
Tampilan barcode dan perkembangannya dengan menggunakan berbagai bentuk
Teknologi barcode berasal dari kebutuhan toko ritel dan industri besar untuk melacak kesalahan persediaan mereka dengan cara yang lebih cepat. Sosok yang berada dibalik terciptanya barcode adalah duo mahasiswa dari Drexler Institute of Technology bernama Bernard Silver dan Norman Woodland. Sebelum menciptakan deretan balok dan angka yang kelak disebut barcode, kedua mahasiswa ini bereksperimen dengan menggunakan tinta yang dapat menyala saat tertimpa sinar ultraviolet. Namun, lantaran keadaan tinta yang seringkali tidak stabil, maka keduanya pun terus melakukan riset dan penelitian hingga pada 1973 melalui bantuan IBM dapat mengembangkan barcode.
Barcode pertama kali digunakan sebagai piranti perdagangan pada tahun 1974. Tepatnya pukul 08.01 pagi tanggal 26 Juni 1974, saat seorang pembeli Marsh's Supermarket memborong 10 pak permen karet merk Wegley's Juicy Fruit. Bahkan saking monumentalnya peristiwa penggunaan barcode ini, salah satu permen yang dibeli tersebut menjadi penghuni Smithsonian Institute's National Museum of American History.
Komponen penting dari sebuah Barcode terdiri dua bagian yakni balok garis dan angka. Keduanya sebenarnya merupakan hal yang sama, bedanya balok garis ditujukan untuk mesin pembaca sedangkan angka tertera untuk dapat dibaca oleh pembeli atau penjual produk bersangkutan. Melalui balok garis dan angka tersebut, sebuah barcode dapat memberikan berbagai macam info mengenai sebuah produk mulai dari identitas perusahaan yang membuat, hingga kelompok produk yang bersangkutan.
Selain dalam bentuk balok garis, pada perkembangannya barcode juga menggunakan berbagai macam bentuk seperti persegi, titik, heksagon dan bentuk geometri lainnya. Bentuk-bentuk yang telah berkembang ini juga tidak hanya dapat dibaca dengan menggunakan barcode readers, namun juga peralatan yang umum digunakan oleh masyarakat, seperti menggunakan ponsel pintar alias smartphones.
Hari-hari ini, Hampir semua barang yang dijual di toko grosir, department store, sudah menggunakan dan memiliki barcode. Selain digunakan sebagai piranti perdagangan, barcode juga seringkali dipakai untuk memudahkan proses pengecekan status barang pada bidang-bidang lain seperti yang sering ditemui pada buku-buku perpustakaan. Dalam barcode tersebut juga tertera berbagai macam informasi tentang buku seperti kategori, Judul hingga jumlah ketersediaan buku di rak.
Namun seperti juga hal lainnya di dunia ini, penggunaan barcode juga masih memiliki drawback alias kekurangan. Diantaranya, Informasi yang dapat dikodekan pada barcode agak terbatas dan karena itu masing-masing perpustakaan harus mampu untuk memutuskan informasi apa yang mereka masukkan dalam barcode untuk pengumpulan data dan operasional layanan yang lebih baik.
Perpustakaan dapat menggunakan nomor akses buku atau informasi unik yang membedakan koleksi mereka sebagai entitas informasi penting untuk barcode koleksi mereka. Demikian pula, jumlah identifikasi pengguna yang berbeda untuk setiap anggota, untuk digunakan dalam barcode kartu pengguna.
Untuk mempermudah komputer dalam membaca barcode, semua label hendaknya dicetak di atas kertas atau pada label kosong dengan menggunakan printer dot- matrixl/laser, sesuai ketersediaan pada masing-masing perpustakaan. Selain mencetak dalam bentuk barcode, hendaknya perpustakaan juga menyediakan informasi buku seperti penulis / judul / user name dalam teks biasa untuk mempermudah mengidentifikasi buku apabila barcode yang digunakan ternyata rusak atau tidak bisa diakses.
Sedangkan penerapan barcode pada Kartu anggota, biasanya kartu dilaminasi untuk memastikan umur yang lebih panjang dari label barcode. Sebab jika tidak dilaminasi, kartu anggota yang terlipat atau basah dapat menyebabkan scanner atau alat pemindai tidak bisa membaca data. Sedangkan untuk buku, cellotape transparan dapat digunakan untuk melindungi Barcode agar dapat diakses. Penggunaan barcode dan sistem AIDC (automatic identification and data capture) lainnya diharapkan mampu menawarkan banyak kenyamanan serta kemudahan untuk menangani tugas-tugas rutin sehingga dapat meningkatkan kepuasan para pemustaka.
Artikel Perpustakaan Lainnya
Seminar Nasional Saat ini, berbagai perguruan tinggi dan universitas mengupayakan...
Paguyuban kebatinan Traju Mas merupakan suatu organisasi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berpusat di Yogyakarta....
Organisasi Hak Sejati berdiri di daerah Kulonprogo pada tahun 1952. Organisasi ini didirikan oleh Ronosukarto. Sebelum dibentuk...