BARITAN DI DHUKUH KARANG, SAMIGALUH
Disarikan dari naskah siaran RRI Yogyakarta 17 Juni 2010.
DRA. TITI MUMFANGATI
Masyarakat Jawa memiliki aneka ragam adat tradisi yang hidup dan berkembang di berbagai daerah di pelosok-pelosok masyarakat desa. Satu di antara adat tradisi itu adalah upacara adat Baritan di Dhukuh Karang, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo. Upacara tradisional Baritan dilaksanakan setiap tahun sekali. Keunikan dari upacara ini adalah bahwa warga desa yang mengikuti upacara sekaligus membawa hewan ternaknya untuk digembalakan di sekitar tempat upacara.
Dhukuh Karang terletak di tepi jalur jalan Dekso-Samigaluh yang berjarak sekitar 10 kilometer. Sepanjang jalan pemandangannya sangat indah, perbukitan dengan hutan pepohonan rindang, sawah ladang yang subur menghijau, sungai dengan aliran jernih, dan rumah-rumah penduduk yang asri dengan aneka tanaman hias. Dhukuh Karang adalah satu dari 19 pedhukuhan di wilayah Kalurahan Gerbosari, Kecamatan Samigaluh. Dhukuh Karang yang sebagian besar wilayahnya sawah dan ladang, masyarakatnya sangat rukun dan sangat menjaga adat istiadat peninggalan nenek moyang. Di antara adat istiadat yang masih selalu dilaksanakan adalah tradisi endhong-jagong, kendhuri, slametan ruwahan-rejeban-suran-muludan-selikuran, wiwitan, dan baritan. Kesenian tradisional juga masih tetap dilestarikan oleh masyarakat, di antaranya kesenian slawatan dan jathilan.
Ternyata banyak sekali adat istiadat dan upacara tradisional yang sampai saat ini masih dilaksanakan dan dilestarikan oleh warga masyarakat di pelosok-pelosok desa di Daerah Istimewa Yogyakarta. Di daerah Kulon Progo juga banyak sekali tradisi ritual yang masih dilaksanakan oleh masyarakat pendukungnya. Beberapa upacara adat yang masih dilaksanakan seperti suran, saparan, baritan, jamasan pusaka, dan masih banyak lagi.
Upacara adat Baritan dilaksanakan setahun sekali dan biasanya sesudah panen di musim kemarau, hari Selasa Kliwon atau Jumat Wage. Istilah Baritan sendiri mengacu pada singkatan dari kata lebar rit-ritan artinya sesudah memangkas tanaman padi (ngerit damen) yang sesuai dengan maknanya yaitu sesudah panen padi. Tradisi ini sudah berlangsung ratusan tahun sejak jaman nenek moyang. Tempat pelaksanaan di tengah areal persawahan penduduk yang masih menampakkan sisa-sisa kegiatan pemanenan padi. Biasanya tempatnya memilih tempat yang rindang, rata, dan lapang dengan pemandangan indah.
Di tempat ini orang dapat melihat ke areal persawahan di sekeliling tempat kegiatan. Pemilihan tempat yang lapang dan luas itu supaya orang yang hadir dapat melihat langit yang biru jernih. Memandang bukit-bukit yang menjulang tinggi, hutan dengan pepohonan yang menghijau, sawah dan tegalan yang luas, burung-burung yang beterbangan di angkasa, binatang ternak yang dilepas bebas merenggut rumput dan dedaunan. Juga mendengarkan kicauan burung yang hinggap di ranting pohon, dan sayup-sayup terdengar gemericik air sungai yang jernih di sela bebatuan yang berserakan di dasar sungai itu.
Upacara dimulai jam 14.00 dengan arak-arakan berangkat dari Dhukuh Karang sambil menggiring hewan ternaknya ke tempat upacara. Di sana hewan ternak itu dilepas bebas dan memakan rumput-rumput serta dedaunan. Para petani peserta upacara berkumpul untuk melaksanakan upacara sesuai dengan adat tradisi yang berlaku.
Tempat pelaksanaan upacaranya di areal persawahan yang disebut Bulak Turi. Sebelumnya semua warga peserta upacara berkumpul di rumah Bapak Kepala Dukuh Karang. Lalu setelah semuanya siap mereka berangkat dalam suatu arak-arakan yang meriah menuju lokasi upacara.
Memang suasananya sangat meriah, bahkan banyak pula pedagang makanan, minuman atau pun mainan yang ikut memeriahkan suasana seperti pasar malam. Dan yang lebih unik, menurut saya, para warga peserta upacara itu juga sambil menggiring hewan ternaknya untuk digembalakan di sekitar lokasi upacara. Benar-benar suasananya sangat meriah dan hiruk pikuk.
Hampir semua warga desa mempunyai hewan piaraan seperti sapi, kerbau, kambing etawa, maupun kambing domba. Jadi hewan itu nanti akan mereka tempatkan di sekitar tempat upacara namun sedemikan rupa sehingga tidak mengganggu jalannya upacara, yaitu dengan diikat pada pepohonan yang besar. Iring-iringan yang berangkat diatur dengan diawali rombongan para laki-laki yang membawa sesaji berupa hasil bumi dilengkapi dengan air kembang, kembang setaman, serta tumpeng lengkap. Kemudian disusul para penabuh gamelan dan pemain jathilan, baru diikuti para petani dengan menggiring binatang ternaknya. Setelah itu terakhir para penonton dan masyarakat umum.
Upacara ini diadakan setiap tahun, yaitu sesudah panen di musim kemarau (Jawa, panen gadhu). Untuk harinya bisa Selasa Kliwon atau Jumat Wage dan dimulai pukul 14.00. Para pejabat terkait juga menghadiri upacara bahkan wakil bupati Kulon Progo juga hadir setelah arak-arakan sampai di tempat upacara.
Di sana setelah semuanya berkumpul lalu upacara dimulai, yaitu diawali dengan ucapan selamat datang, uraian tentang maksud dan tujuan upacara, dilanjutkan dengan doa memohon keselamatan bagi semua warga. Setelah doa lalu air kembang dan air dlingo bengle disiramkan ke areal persawahan sebagai simbolisasi untuk menghilangkan hama dan segala penyakit tanaman yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman padi. Hal itu membuktikan bahwa betapa masyarakat Jawa penuh dengan simbolisasi dan kearifan yang tentunya bertujuan untuk menjaga kelestarian lingkungannya. Dengan adanya upacara yang diadakan setiap tahun, masyarakat selalu diingatkan untuk selalu bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, selalu menjaga lingkungan hidupnya, dan bekerja lebih giat lagi untuk mendapatkan hasil panen yang melimpah.
Setelah itu dilanjutkan dengan menyiramkan air kembang pada raja kaya (binatang ternak), yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang hadir di sana. Selanjutnya sisa air kembang diberikan kepada para warga untuk disiramkan ke kandang ternak mereka di rumah. Nah, selanjutnya ada sambutan dari lurah desa dan pejabat yang tinggi hadir. Disediakan hidangan pula makanan dan minuman khas dari daerah itu seperti ketela rebus, umbi rebus, jagung rebus, kimpul, kupat tahu dan tempe bacem, serta minuman dawet gula Jawa.
Selain pengetahuan kita bertambah mengenai adat tradisi di berbagai daerah, juga menjadi rekreasi yang menyenangkan dan menyegarkan badan kita lagi. Apalagi masyarakat sekarang, khususnya yang berada di perkotaan selalu menghirup udara yang penuh polusi, maka ada baiknya kita sering berkunjung ke desa-desa untuk memberikan suasana baru dalam hati dan pikiran kita.
Upacara Baritan merupaka wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan rasa kagum atas segala karunia yang telah diberikan kepada manusia dalam bentuk kesehatan jasmani rohani, limpahan rejeki yang mencukupi untuk hidup sehari-hari, dan kebahagiaan lahir batin. Selain itu juga merupakan wujud rasav terimakasih manusia keda alam lingkungan yang telah memberikan sumber nafkah dengan lahan pertanian yang subur, air yang melimpah untuk digunakan bagi kebutuhan hidup sehari-hari.
Upacara Baritan mempunyai makna sebagai kearifan lokal, maksudnya dengan upacara Baritan yang diadakan setiap tahun, masyarakat selalu diingatkan untuk memiliki rasa syukur atas nikmat yang diberikan Tuhan, selalu menjaga alam lingkungan sekitar yang berwujud lingkungan manusia (masyarakat), lingkungan alam (sawah, ladang, pekarangan, sungai, dan sebagainya), dan binatang ternak (sapi kerbau kambing). Dengan adanya upacara baritan ini semua lingkungan tadi ikut dilibatkan sehingga hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya akan terjalin dengan harmonis.
Upacara dilakukan di areal sawah dengan memilih lokasi yang datar, rindang, dan luas, dengan tujuan agar para peserta terutama yang datang dari daerah lain dapat menikmati pemandangan yang indah, langit yang biru jernih, pohon-pohon yang hijau, sawah dan ladang yang luas, burung-burung berkicau bebas dengan suara yang nyaring, serta binatang ternak yang tampak jinak sambil memakan rumput-rumput di sekitarnya. Dengan adanya suasana seperti itu diharapkan manusia akan selalu memiliki kesadaran untuk menjaga kelestarian alam lingkungannya.
Artikel Perpustakaan Lainnya
Dalam upacara pernikahan ada Jawa, ada rangkaian prosesi yang harus dilewati, seperti upacara tarub, upacara siraman, upacara...
Masyarakat desa dengan segala dinamikanya tak ubahnya seperti masyarakat di wilayah lain. Yang membedakan antara masyarakat desa...
Kegiatan Peningkatan Peran Serta Masyarakat dalam Pelestariaan, Perawatan dan Pendaftaran Naskah Kuno
Masjid Syuhada yang terletak di Kelurahan Kotabaru, Kecamatan Gondokusuman, Kota Yogyakarta tidaklah asing lagi, khususnya bagi...