MENGENAL MONUMEN BAMBANG SUGENG
DI GUMUK GODHEG, TEMANGGUNG
Diringkas dari naskah siaran RRI Yogyakarta 26 Agustus 2006
Oleh: Titi Mumfangati
Pada masa perang kemerdekaan, hampir di setiap daerah ada markas gerilya. Markas gerilya biasanya didirikan di tempat yang terlindung, jauh dari keramaian, dan sulit dicari dan didatangi musuh. Agar musuh dari daerah lain tidak mudah menjangkau markas, jalan-jalan utama dipasang rintangan, jembatan dirusak, dan diberi rintangan. Di tempat-tempat seperti itu biasanya menjadi arena kontak senjata antara gerilyawan dengan musuh, dan menimbulkan banyak korban luka maupun meninggal, baik di pihak gerilya atau musuh. Sesudah kemerdekaan dan pemerintahan mulai tertata, di tempat-tempat terjadinya kontak senjata dan juga tempat gugurnya pahlawan kemerdekaan didirikan tugu-tugu atau monumen perjuangan sejarah sebagai peringatan dan penghormatan kepada para pejuang tersebut.
Pejuang yang mengadakan perlawanan di daerah Temanggung adalah Mayor Jenderal TNI Bambang Sugeng, yang hidup pada tahun 1913 – 1977. Semasa hidupnya beliau berpesan tidak mau dimakamkan di taman makam pahlawan, tetapi minta dimakamkan di tepi sungai Progo dekat jembatan, berdekatan dengan makam para pejuang lainnya yang gugur di jembatan dan tempat-tempat sekitarnya ketika perang dahulu. Karenanya selain makam para pejuang, di tempat ini juga ada Tugu Kali Progo. Selain itu juga didirikan monumen di Gumuk Godheg tidak jauh dari terminal Temanggung. Di kompleks monumen itu juga terdapat batu prasasti yang dibuat oleh Jepang. Di batu prasasti itu tertulis “ Seloeroeh Doenia Sekeloearga”, yang maksudnya adalah bahwa manusia di seluruh dunia ini sesungguhnya masih bersaudara.
Sebelumnya ada tiga tempat yang menjadi alternatif dibangunnya monumen Bambang Sugeng yaitu di komplek Sendang Pikatan, atau Pemandian Pikatan, sekitar kawedanan lama, dan Gumuk Godheg. Pemilihan Gumuk Godheg karena tempat itu luas, tinggi, dan strategis terletak di tepi jalan besar yang mudah dikunjungi sehingga dapat menjadi salah satu “Tujuan Wisata Sejarah”.
Kisah kepahlawanan Mayor Jenderal TNI Bambang Sugeng berawal dari saat beliau masuk sebagai tentara PETA (Pembela Tanah Air) di Batalyon II yang bermarkas di Magelang. Lalu pindah markas di Gombong, tetapi pada tahun 1945 Bambang Sugeng kembali lagi ke Temanggung. Di Temanggung beliau membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) wilayah Temanggung dan Wonosobo. BKR berkembang pesat lalu diganti namanya menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). TKR lalu dibagi dalam empat wilayah kerja yaitu Batalyon Temanggung, Batalyon Tarakan, Batalyon Tanjungsari, dan Batalyon Wonosobo. Bambang Sugeng yang pada waktu itu berpangkat Letnan Kolonel menjadi komandan resimen.
Jepang pada waktu itu selain menyusun kekuatan pasukan juga membangun logistik di Temanggung untuk persediaan pasukannya yang melawan Sekutu dan pejuang Indonesia. Namun demikian TKR yang dipimpin Bambang Sugeng lebih menguasai medan sehingga bisa mengetahui kekuatan pasukan Jepang. Bambang Sugeng bercita-cita melucuti pasukan Jepang yang berada di Temanggung dan Wonosobo. Cita-cita itu akhirnya terlaksana, tentara Jepang dengan mudah dikalahkan dan dilucuti senjatanya, lalu ditawan di beberapa kamp.
Peristiwa ini menjadi catatan sejarah yang sangat bagus, karena Bambang Sugeng memperlakukan para tawanan Jepang dengan sangat baik, penuh rasa kemanusiaan, sesuai dengan “Konvensi Jeveve” bahwa mengenai perlakuan terhadap tawanan perang. Para tawanan yang ditempatkan di tiga tempat itu diperlakukan dengan baik, bersahabat, diberi kebebasan di lingkungan kamp. Apalagi sikap Bambang Sugeng yang penuh persaudaraan, dan jauh dari sikap permusuhan, tidak ada tawanan yang diperlakukan kasar apalagi disiksa atau dilukai. Karenanya para tawanan bahkan menjadi terharu oleh sikap Bambang Sugeng yang penuh perlindungan itu, dan merasa tidak menjadi tawanan.
Setelah mereka dibebaskan lalu timbul dalam hati mereka untuk membuat suatu peringatan berupa prasasti batu besar bertuliskan “Seloeroeh Doenia Sekeloearga”. Dan memang apa yang dilakukan oleh Bambang Sugeng itu sesuai dengan Konvensi Jeveve mengenai perlakuan terhadap tawanan perang. Jadi walaupun itu terhadap musuh namun kalau sudah menjadi tawanan tidak boleh diperlakukan semena-mena, atau disakiti. Karena orang yang sudah menjadi tawanan itu sudah tidak berdaya, dan yang jelas sudah mengakui kekalahannya, sehingga tidak boleh dilukai atau disakiti. Prasasti itu ditempatkan di kompleks halaman Monumen Bambang Sugeng. Prasasti itu berangka tahun Saka 1877 dan selain tulisan yang tadi juga ada tulisan-tulisan aksara kanji berbahasa Jepang.
Selain ada tawanan Jepang juga ada tawanan Belanda. Para wanita Belanda dan anak-anak Belanda yang dulu menjadi tawanan Jepang lalu diambil alih oleh pasukan Bambang Sugeng. Mereka juga diperlakukan dengan baik seperti apa yang dilakukan Bambang Sugeng terhadap tawanan Jepang. Untuk selanjutnya para tawanan Belanda itu diserahkan kepada Sekutu. Semua itu karena kebesaran jiwa dan sifat kepahlawanan beliau yang sangat terpuji. Untuk menghargai dan mengenang serta sebagai ungkapan terimakasih atas perlakuan yang baik Bambang Sugeng kepada keluarga mereka maka para keluarga Jepang sampai saat ini sering mengadakan ziarah ke makam Bambang Sugeng dan Monumen Bambang Sugeng di Gumuk Godheg.
Mereka mengungkapkan rasa syukur karena keluarga mereka yang ditawan Bambang Sugeng bisa kembali ke negaranya dengan selamat dan tidak kurang suatu apa.
Para keluarga itu biasanya membuat suatu rombongan atau kelompok. Ada kelompok Kyozawa Group, yaitu anak cucu dan kerabat Letnan Toichiro Kyozawa yang masa dulu ditawan di Temanggung. Mereka berziarah karena merasa berhutang budi kepada Bambang Sugeng karena merasa sudah diselamatkan dan dapat kembali ke negaranya.
Kelompok lain adalah Irezae Group, Tosyo Okihara Group dan lain-lain. Kelompok-kelompok tadi setelah ziarah biasanya lalu berbaur dengan masyarakat sekitar bahkan oleh masyarakat mereka disuguhi kesenian dan tari-tarian tradisional seperti Reyog, Kuntulan, Jaran Kepang Lengger dan sebagainya. Oleh karena itu, lalu tampak keakraban antara para bekas tawanan dan keluarganya dengan masyarakat Temanggung. Hal ini lalu sesuai dengan ungkapan yang tertulis pada batu prasasti, “Seloeroeh Doenia Sekeloearga.”
Artikel Perpustakaan Lainnya
Perkembangan Kota Yogyakarta tidak dapat dipisahkan dari perkembangan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Keberadaan fisik Keraton...
Dalam rangkameningkatkan minat baca dan menciptakan budaya membaca pada masyarakat, BadanPerpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) DIY...
Keraton Yogyakarta setiap tahun menyelenggarakan tiga kali upacara garebeg, yaitu: Garebeg Maulud, Garebeg Syawal/Grebeg Puasa,...