DPAD Yogyakarta

Bijaksana Dalam Musibah dan Bencana

 Opini  20 July 2011  Super Administrator  10869

“Semua yang hidup akan binasa, menembus kodrat alam menuju keabadian .......” 

Ungkapan filosofis Shakespeare tersebut dalam konteks agama selaras dengan ungkapan “kita semua milik Allah dan akan kembali kepadaNya”. Suatu ungkapan kesadaran tentang datangnya maut yang secara tiba-tiba dan tak dinyana. Adalah suatu kebenaran yang tak dapat dihindari, setiap yang bernyawa pasti mati. Barangkali ‘cara mati’lah yang sering menjadikan kepiluan menjadi berlebih. 

27 Mei 2006, gempa dengan 5.9 Skala Richter, selama 57 detik, pada jam 05.55 adalah salah satu ‘cara’ yang Tuhan kehendaki bagi sebagian orang di DIY dan Jateng untuk menyongsong keabadian. Bagi sebagian besar yang lain adalah kepiluan yang dalam. 27 Mei 2006 bukan musibah dan bencana satu-satunya di DIY, bukan yang pertama dan juga bukan yang terakhir. ‘Sentuhan cinta Tuhan untuk menyapa umat’, barangkali adalah ungkapan bijak untuk tidak menempatkan musibah dan bencana sebagai murka Tuhan. 

Bijak adalah satu sikap yang harus tumbuh bagi warga Yogyakarta yang berbudaya dan beragama. Rangkaian musibah dan bencana, dari wabah penyakit, banjir, tanah longsor, gunung meletus, gempa, dan badai, selain merupakan dinamika alam untuk mencapai keseimbangan juga merupakan peringatan Tuhan agar manusia menjaga keseimbangan hidup. Imbang antara jagat ciliknya dengan jagat gedhenya maupun imbang kesadaran menjaga hak dan kewajibannya sebagai umat. 

Membuka kembali memory tentang musibah dan bencana di Yogyakarta, bukan bermaksud menambah kepiluan dan keputusasaan. Tetapi dimaksud untuk mengingatkan bahwa dinamika alam senantiasa terjadi selama alam masih ada. Oleh karena itu, upaya membangkitkan semangat pantang menyerah dalam konteks kepasrahan pada kekuasaan Tuhan harus senantiasa ditumbuhkan. Lebih dari itu hendaklah menjadi darah bagi semangat mewujudkan sikap bijaksana untuk membangun kembali Yogyakarta yang ayem tentrem kerta raharja.

Musibah 

Beberapa pendapat membedakan pengertian antara musibah dengan bencana. Musibah lebih ditekankan manusia sebagai faktornya, sedangkan bencana lebih pada alam. Walaupun hal tersebut tidak bersifat mutlak setidak-tidaknya akan memberikan efek yang berbeda. Kecelakaan, apapun medianya, faktor manusia menjadi pelaku utama. Sedangkan wabah penyakit merupakan suatu akibat yang timbul secara berantai. Berbagai musibah baik berupa wabah, maupun kecelakaan senantiasa mengiringi kehidupan manusia. Demikian pula di Yogyakarta. 

Catatan sejarah di Yogyakarta menunjukkan terjadinya musibah yang silih berganti. Membuka kembali catatan musibah tentang berbagai kecelakaan dan wabah penyakit, bukan sekedar mendorong untuk mawas diri. Lebih dari itu mestinya menumbuhkan semangat untuk munculnya dinamika, baik sikap maupun pemikiran. Kreatifitas untuk mengantisipasi dan menanggulangi terjadinya musibah adalah ‘darah’ untuk menjaga keseimbangan dalam kehidupan. Sisi positif harus diambil, bahwa dibalik musibah di Yogyakarta, rakyat Jogja ditantang untuk inovatif dan kreatif menata kehidupan dalam berbagai aspeknya agar keseimbangan tetap terjaga. 

Bencana Alam 

Karakter bencana adalah datangnya tak disangka dan bersifat massal. Banjir, tanah longsor, angin ribut, gempa bumi, dan sebagainya adalah contoh dialektika alam untuk mencari keseimbangan. Munculnya bencana di Yogyakarta bisa jadi murni ‘kehendak’ alam atau sebagai ‘jawaban’ atas ulah manusia. Apapun latar belakangnya, munculnya bencana menyebabkan terjadinya kerusakan, lebih dari itu melahirkan kepiluan dan korban bagi manusia. Menangis, sedih, dan pilu adalah manusiawi. Akan tetapi meratapi bencana bukan sikap yang dikehendaki. Bijaksana untuk mensikapi adalah sikap yang utama. Mawas diri adalah sifat yang terpuji. 

Bencana merupakan bentuk ‘teguran’ agar manusia bersahabat dengan alam dalam segala perilakunya. Juga sebagai teguran agar manusia senantiasa ingat kepada ‘Sang Penguasa Alam’. Sesuai alam budaya masyarakat jogja yang religius, bencana harus ditempatkan sebagai ujian bagi yang beriman, dan azab bagi yang ingkar. Dengan demikian, bersahabat dengan alam dengan segala perilakunya, bukan sekedar ‘menyayangi’ alam tetapi menjadi salah satu bentuk ‘ibadah’ kepada Tuhan Ingkang Murbeng Dumadi, sehingga tidak jatuh pada pemikiran yang sekuler. Apalagi ingkar ! 

Kecelakaan 

Tahun 2003 adalah tahun yang paling menyayat hati bagi sebagian orang tua SMK Yapenda, serta keprihatinan bagi semua. Anak-anak mereka yang ceria dalam menuntaskan belajarnya dengan kunjungan ke Pulau Bali, tiba-tiba pulang tinggal abu. Kebakaran bis di Paiton harus memisahkan belaian kasih sayang dan harapan orang tua pada 52 orang anak. Musibah ini bukan hanya menyayat hati orang tua, tapi juga mereka yang masih punya nurani. Kelalaian tidak sekedar menjadi kambing hitam, tetapi interospeksi dan pembenahan yang harus dilakukan. 

Wabah Penyakit 

Penyakit! Musibah yang ada sepanjang peradaban manusia. Semakin canggih ilmu kedokteran, semakin beragam penyakit bermunculan. Sudah tentu hal ini menunjukkan adanya keharusan agar manusia senantiasa menyesuaikan dengan alam. Catatan wabah penyakit sekaligus menunjukkan seberapa jauh tingkat kepekaan sosial manusia. 

Bencana Kelaparan 

Gemah ripah loh jinawi, idealisme ini tergambar dalam janturan ki dalang dalam pewayangan, juga idealisme masyarakat Indonesia tentang negerinya. Ironis! Kelaparan masih terjadi di negeri ini. Bukan hanya sekarang tapi sejak dulu. Idealisme hanya mimpi bagi rakyat kecil. Kenapa? Yang pasti harus dicari ‘apa yang salah’. Esuk jangan ada lagi yang kelaparan di negeri lumbung padi ini. 

Tanah Longsor Dan Banjir 

Bencana alam adalah dinamika alam untuk mencapai keseimbangan. Kadang murni alam berkehendak, tidak jarang, tangan manusia yang menyebabkan keseimbangan rusak. Tanah longsor dan banjir adalah jawaban atas kesemena-menaan manusia. Korbannya adalah mereka yang tidak tahu apa-apa. Banjir dan tanah longsor di Yogyakarta adalah contohnya. Dalam hal ini bukan sekedar mencari apa yang salah tetapi juga harus dicari siapa yang salah. Karena kesalahan segelintir manusia, mengancam jutaan manusia lainnya. 

Bencana Volkanik 

Ketika ramah, betapa indah, tetapi ketika sedang marah menjadikan banyak orang susah. Itulah Gunung Merapi. Keramahan Merapi banyak tak dihiraukan, tetapi marahnya Merapi, banyak orang kebingungan. Bencana vulkanik mengancam. Entah berapa ratus kali Gunung Merapi melakukan ‘katarsis’ atas isi perutnya. Entah menyembur, entah meleleh. Yang jelas, setiap Merapi ‘punya hajat’ yang muncul adalah bencana. Sebagai bencana alam murni, sudah tentu manusia dituntut untuk ‘bersahabat’ dan lebih mengenal perilaku Merapi, sehingga keramahannya dapat dinikmati, dan marahnya dapat dihindari.

Opini Lainnya

The History of Mixed-Race People: Javanese-Dutch The History of Mixed-Race People: Javanese-Dutch
 29 March 2023  2811

The History of Mixed-Race People: Javanese-Dutch by: Hendrikus Franz Josef, M.Si\ (International Relations Observer, CEO of ...

OLEH-OLEH DARI JEPANG BAGIAN PERTAMA OLEH-OLEH DARI JEPANG BAGIAN PERTAMA
 16 January 2014  4213

OLEH-OLEH DARI JEPANGSuatu pengalaman ketika ditugaskan ke Kyoto Jepang selama semingguOleh :AlipSudardjoBAGIAN PERTAMA Jepang...

Istansi , Perlu Menangani Arsip Media Baru Istansi , Perlu Menangani Arsip Media Baru
 20 July 2011  8289

Istansi , Perlu Menangani Arsip Media Baru Oleh : Anna N. Nuryani, Dra  Penyelenggaraan  kearsipan sehari-hari di Instansi,...

​Neural Computer, Processor of Human Brain Neurons ​Neural Computer, Processor of Human Brain Neurons
 21 March 2023  436

Neural Computer, Processor of Human Brain Neurons by: Hendrikus Franz Josef, M.Si\ (International Relations Observer, CEO The...