Kata Birokrasi, berkonotasi negatif di mata masyarakat. Hal ini terkait dengan kesan berbelit-belitnya suatu urusan, hingga muncul istilah birokratis untuk mengesankan rumitnya suatu urusan. Padahal, pada prinsipnya birokrasi adalah ‘piranti’ untuk memudahkan urusan. Sebagai ‘ibukota’ budaya, berbicara masalah birokrasi di Yogyakarta harus menyentuh akarnya. Kraton Yogyakarta adalah pewaris kerajaan jawa dengan berbagai nilai adiluhung. Secara konseptual, raja jawa selain berwibawa, juga dituntut adil dan mampu menjadi pelindung bagi rakyatnya. Karenanya, birokrasi yang diciptakan adalah cermin keadilan dan keberpihakan pada rakyatnya.
Dalam catatan sejarah, menandakan adanya kontak dengan bangsa lain, kepentingan bangsawan maupun para birokrat, serta pasang surutnya kehidupan politik yang memberikan pengaruh bagi karakter dan fungsi birokrasi itu sendiri. Hal yang unik bagi Yogyakarta adalah perjalanan birokrasi dari akar budaya tradisional ke birokrasi modern. Dari birokrasi yang bersumber pada otoritas raja menuju birokrasi yang berpijak pada konsep tata negara modern. Perubahan tata birokrasi di Yogyakarta adalah cermin dari perjalanan sejarah bangsa. Perubahan birokrasi di Yogyakarta adalah keharusan sejarah tetapi konsep olah praja dan tata praja adalah nilai luhur yang tidak boleh luntur.
Sebelum Kemerdekaan
Gambaran awam tentang Kraton Yogyakarta adalah sebagaimana pertunjukan ketoprak yang menempatkan raja secara mutlak. Padahal di Kasultanan Yogyakarta tidaklah demikian. Pangkat dan jabatan adalah cermin adanya birokrasi di Kasultanan Yogyakarta, seperti lembaga Kepatihan, Bupati, Kawedanan Hageng Punakawan, maupun Tepas merupakan contoh dari bentuk birokrasi tersebut. Prinsip ajaran bagi seorang raja, wikan wasistha (terampil dan kuat), wicaksanengnaya, dan berbudi bawa laksana, ambeg darma, mamayu hayuningbawana menjadi ruh dalam olah praja dan tata praja. Artinya prinsip tersebut harus tercermin pada perilaku birokrat sebagai wakil raja. Kehadiran kolonial Belanda, dan Jepang, memberi warna dan karakter bagi birokrasi Yogyakarta pada masa pra kemerdekaan. Baik menyangkut nomonclatur maupun hal yang terkait dengan administrasi.
Pasca Kemerdekaan
Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah tonggak perubahan politik di Indonesia. Konsekuensi maklumat Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII adalah Yogyakarta merupakan bagian dari RI. Konsekuensi dari hal tersebut wilayah Kasultanan Yogyakarta menjadi DIY. Secara politis kekuasaan bergeser dari Kasultanan ke Pemerintah Republik Indonesia. Walaupun hal tersebut tidak dalam konteks ‘serta merta’ tetapi dalam tata pemerintahan di Yogyakarta mengalami pergeseran, salah satunya adalah pada tata birokrasi yang menyesuaikan tata birokrasi Pemerintah RI. Kurun waktu 1945 sampai 2000 berbagai bentuk tata birokrasi, ditata ulang. Tuntutan jaman menjadi dasar perubahan tersebut. Sebagian dari perjalanan birokrasi tersebut yang terekam dalam arsip.
Opini Lainnya
The Future of Quantum Computers by. Hendrikus Franz Josef, M.Si, (International Relations Observer, CEO The Hendrikus ...
Selama ini kita mengetahui bahwa bidang perpustakaan dan kearsipan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang...
“Semua yang hidup akan binasa, menembus kodrat alam menuju keabadian .......” Ungkapan filosofis Shakespeare tersebut dalam...
ARSIP VITAL HARUS MENDAPAT PERHATIAN KHUSUS Oleh Anna Nunuk Nuryani, Dra Arsiparis Madya BPAD Provinsi DIY Dalam pengelolaan arsip...